30 March 2010

Manifesto Perupa

Sesuai julukannya, segala ihwal menyangkut tulis menulis lazim dianggap sebagai tugas dan wewenang seorang penulis. Seorang yang melahirkan karya-karya kreatif, terutama dalam hal ini perupa, dipahami tidak pantas menulis tentang karya dan diri mereka sendiri. Tugas ini biasa dilimpahkan kepada seorang yang disebut kritikus, kurator dan pengamat seni rupa. Hal ini sudah menjadi tradisi dan menancap kuat dalam kesadaran segenap komunitas seni rupa. Saking kuatnya, yang kadang setingkat di bawah keyakinan, maka sangat tabu bila seorang perupa berbicara tentang diri dan karya mereka sendiri, terutama dalam bentuk tulisan. Baik perupa maupun kritikus/kurator seakan mengklaim posisinya masing-masing, seakan berada diantara 2 kutub yang berseberangan yang tak bisa dicampuri. Paling tidak gejala ini bisa ditangkap dalam lingkup seni rupa Sumbar hingga hari ini.

Amat jarang terjadi seorang perupa menulis tentang diri dan karya mereka sendiri. Memang beberapa nama dapat kita sebutkan, misalnya Darvies Rasydin. Ia menyertakan tulisan pendek yang berjudul Tentang Saya dan Diri Saya dalam katalog pamerannya bersama Asri Rosdi tahun 1992 di Taman Budaya Sumatera Barat, yang isinya gambaran singkat mengenai latar belakang dan konsepnya dalam berkarya. Di sisi lain Nashar, pelukis Nasional asal Sumbar ini, selalu menuliskan apa yang ia lihat, dengar, rasakan, pikirkan dan lakukan dalam hubungannya dengan kekaryaannya dalam catatan hariannya, yang kemudian oleh Pustaka Djaya diterbitkan dengan judul Surat-surat Malam. Tetapi apa yang dilakukan Darvies dan Nashar ini sangat langka ditemui pada umumnya perupa Sumatera Barat.

Kondisi ini sejalan dengan kelangkaan penulis kritik seni rupa itu sendiri, yang sudah lama menjadi keluhan dalam wacana seni rupa Sumbar. Pada Workshop Penulisan Kritik Seni Rupa di FBBS UNP 10-12 Februari 2007 lalu, Mamannoor (kritikus dan kurator Nasional dari Bandung) menulis hand-outnya dengan judul Susahnya Mencari Kritikus. Ia menggambarkan bahwa ada anggapan yang keliru bahwa dunia seni rupa hanya dunia praktek kekaryaan, sehingga mengakibatkan iklim perbincangan (wacana), khususnya dunia tulis menulis menjadi tidak berkembang. Padahal itu justru sangat penting dalam membangun iklim apresiasi dan gairah aktivitas seni rupa. Artinya budaya tulis menulis dalam dunia seni rupa memang sudah menjadi masalah laten yang sudah lama dimaklumi.

Lepas dari banyak kemungkinan penyebab, kondisi ini lebih-lebih dipicu oleh anggapan dasar bahwa seorang perupa hanya konsen pada praktek berkarya. Lebih dari itu, cendrung dianggap sebuah kelatahan, yang secara psikologis dimaknai sebagai pelanggaran kode etik atau dosa kesetiaan pada profesi. Anggapan ini seakan dihembus-hembuskan bahkan diindoktrinasi terutama oleh perupa itu sendiri, yang akhirnya lama-kelamaan mengendap menjadi kesadaran kolektif. Tanpa disadari secara menyeluruh ini berujung pada pemiskinan wacana, publikasi dan sosialisasi yang lebih luas dan lempang dari dunia seni rupa kepada publik. Dan parahnya, kondisi ini kadang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ujung-ujungnya kembali merugikan perupa itu sendiri, baik sehubungan dengan pembacaan terhadap karya maupun berbagai skandal kepentingan dalam even-even keseni-rupaan.

Secara tidak langsung agaknya hal ini ikut membentuk pencitraan perupa dan karyanya, yang oleh masyarakat dinilai amat ekslusif dan berjarak. Padahal sebagai produk kebudayaan, sebuah karya seni akhirnya juga kembali ke rahim masyarakatnya, sebagai aset, khasanah dan artefak sejarah kebudayaan. Artinya, sekecil apapun masalah ini dianggap, secara keseluruhan tanpa disadari turut mempengaruhi dan membentuk wajah dan iklim seni rupa itu sendiri.

Matinya Sang Pengarang?

Dunia sastra dalam hal ini juga mengalami hal yang sama. Setidaknya ini dirasakan oleh penyair Sutardji Calzoum Bakhri, yang tergambar dalam tulisannya Ihwal Personal pada Kompas, 31 Agustus 2001. Ia menepis wacana kritik sastra Matinya Sang Pengarang, yang menyatakan bahwa begitu sebuah karya sastra selesai maka seorang pengarang sudah mati atau pingsan. Pembacalah yang melanjutkan dan memberi makna pada karyanya, terutama dalam hal ini kritikus. Bagi Sutardji, seorang penyair tidak perlu terpukau dengan teori ini. Ketika muncul karya sastra baru yang inkonvensional, diluar alur umum, yang belum terjamah oleh teori-teori sastra yang ada, siapa lagi yang lebih mengerti karyanya kalau bukan si pengarang itu sendiri? Bukankah sebuah karya seni selalu bergerak, berkembang meninggalkan teori-reori lama? Karena itu bagi Sutardji pengarang tidak perlu mati. Ia boleh (bahkan harus) terus hidup mengiringi dan mempertanggung jawabkan karyanya. Ia tidak perlu malu dan takut dianggap tidak berjiwa besar jika menjelaskan karyannya. Sutardji sendiri melakukan hal ini ketika kumpulan sajaknya “O”, yang waktu itu tak satu pun kritikus sastra (mampu) mengapresiasinya.

Meskipun kasus Sutardji dalam dunia sastra, kiranya hal ini juga relevan bagi dunia seni rupa. Karena secara substansi, dunia kreativitas dan apresiasi itu universal, tidak mengenal sekat dan batas. Apa salahnya seorang perupa juga menuliskan semacam manifesto diri dan karyanya, yang merupakan pengumuman, penjelasan sikap, visi, kredo, proses kreatif dan apapun istilahnya (terutama dalam bentuk tulisan), sebagai narasi pengiring karyanya di katalog pameran. Bahkan bila perlu hal ini juga ditulis di media lain seperti koran, jurnal, bulletin dan majalah. Dengan catatan, tentu tulisan perupa ini tidak melampaui posisinya sebagai perupa. Artinya, ia menulis seluk beluk karya dan dirinya atas sudut pandang dan pengalaman pribadinya. Bukan sebagai karya tulis objektif-ilmiah, kecuali bila ia menempatkan diri di luar dan berjarak dari karya dan posisinya sebagai perupa.

Sudah saatnya perupa Sumbar mencoba membudayakan hal ini. Sang juru selamat yang dinanti-nanti selama ini tak kunjung turun ke bumi. Sudah saatnya perupa Sumbar memulai menulis sendiri rekaman-rekaman kecil sepanjang perjalanan kreativitasnya, seperti yang dilakukan Nashar dalam surat-surat malamnya. Tidak menjadi soal apakah itu sebentuk catatan harian, puisi dan apa saja, yang akhirnya bisa dipublikasikan dalam katalog, media massa, CD bahkan juga website internet.

Jika iklim ini terbentuk, diperkirakan beberapa manfaat dapat diperoleh. Pertama, masalah publiksasi yang selama ini menjadi hantu dalam dunia seni rupa bisa di atasi. Kedua, bisa memotong birokrasi apresiasi antara perupa dan masyarakat, yang biasanya melulu dibebankan kepada kritikus dan kurator. Artinya jika masyarakat membutuhkan jembatan antara ia dan perupa, maka perupa itu sendiri sekaligus dapat berperan sebagai jembatannya. Ketiga, berbagai intervensi pihak luar yang tidak kondusif bagi diri, karya dan praktek keseni-rupaan bisa dipangkas, paling tidak terciutkan. Keempat, terbentuk kantong-kantong dokumentasi kebudayaan yang berada ditangan masing-masing perupa, yang bisa menjadi sumber data otentik bagi pihak yang ingin menulis hal terkait, termasuk bagi gallery dan museum kebudayan. Kelima, secara psikologis ini bisa menambah gairah, memperluas minat dan memberi pencerahan bagi perupa, yang biasanya cendrung tenggelam dalam dirinya sendiri ■

Erianto Anas


0 comments:

Post a Comment