30 March 2010

Apa Kabar Pelukis Bukittinggi?

Bila menyebut soal pelukis Bukittinggi, sudah lazim terdengar istilah pelukis beludru, pelukis jam gadang, pelukis panorama atau pun pelukis janjang ampek puluah. Secara spontan istilah ini tidak hanya terdengar di lingkungan masayarakat umum, tetapi juga pada umumnya di kalangan komunitas dan pemerhati seni lukis Sumatera Barat sendiri. Tetapi sudahkah itu merupakan wajah keseluruhan dari pelaku seni lukis Bukittinggi?

Pada akhir 2005 lalu Asraferi Sabri, Ketua Bukittinggi Institut dan anggota Dewan Kesenian Sumatera Barat, pernah mengumpulkan para perupa yang ada di Bukittinggi dalam sebuah temu perupa se-Bukittinggi. Ternyata di luar dugaan ada sekitar 20 lebih perupa yang hadir dalam pertemuan itu, yang akhirnya dari situ berkembang menjadi sebuah organiasi yang bernama Komunitas Perupa Bukittinggi (KPB), yang diketuai langsung oleh Asraferi Sabri sendiri. Ini menunjukkan bahwa ternyata cukup banyak pelukis Bukittinggi lainnya yang tidak diketahui selama ini, paling tidak dalam perkembangannya beberapa tahun terakhir.

Secara akademis (keilmuan) istilah perupa atau pun pelukis dalam konteks Bukittinggi ini memang masih bisa diperdebatkan. Namun setidaknya, sepanjang mereka berkarya rupa dalam bidang dua dimensi, baik di atas kertas, kanvas dan sejenisnya, maka untuk sementara dalam tulisan ini mereka disebut sebagai pelukis. Tidak dipersoalkan apakah mereka tergolong pelukis komersial atau idealis, inspiratif atau pesanan, apresiatif atau souvernir, akademik ataupun otodidak. Sedangkan istilah pelukis Bukittinggi mengacu pada mereka yang aktif berkarya di Bukittinggi, terlepas apakah mereka berasal dan lahir di Bukittinggi atau tidak.

Melihat catatan pertemuan perupa dan Komunitas Perupa Bukittinggi lalu ditambah dengan aktivitas seni lukis sejauh yang terlihat sehari-hari, setidaknya dapat disebutkan beberapa nama yang ikut membentuk wajah seni lukis Bukittinggi hari ini, diantaranya adalah: Ade Wahyuni, Adji Agam, Alfishera, Armen, Arifin, Army, Asril, Asril Je, Eftitis, Elfiandi Erianto Anas, Hazil Akbar, Hendra Sardi, Ilham, John Jambak, Kirsanto, Lukman, Mardi Wadra, Mirwan, M. Ramli, Nurochim (Dimas Nur), Ragil Suwanto, Redward, Ramizal, Romy, Yenis Muller, Zaglul Fuadi dan Zul Mukhtar.

Dalam aktivitas dan kecendrungan karyanya, semua nama ini bukanlah satu wajah yang tunggal. Secara garis besar mereka dapat dipetakan menjadi tiga kelompok. Pertama adalah mereka yang lebih sering menyalurkan aktivitas seni lukisnya pada pameran - pameran seni rupa, terutama yang bersifat apresiatif (akedemik/keilmuan), baik di Sumatera Barat maupun di kota-kota lain seperti Jambi, Bengkulu, Pekan Baru, Medan, Jakarata, Bandung dan Yogyakarta. Sebagian besar mereka yang masuk kategori ini berasal dari latar belakang pendidikan seni rupa seperti STSI Padang Panjang, IKIP Padang dan ISI Yogyakarta, bahkan sebagian dari mereka merupakan staf pengajar seni rupa di Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi. Mereka dalam katergori ini boleh dibilang sebagai tipologi pelukis idealis. Karena itu kecendrungan sebagian karya mereka kadang tidak sebagaimana lazimnya lukisan yang mudah diapresiasi (dinikmati) oleh masyarakat umum. Beberapa nama yang dapat digolongkan dalam kelompok ini adalah: Asril, Asril je, Erianto Anas, Elfiandi, Hendra Sardi, Mardi Wadra, Ramizal, Ramli, Yenis Muller, Zaglul Fuadi dan Zul Mukhtar .

Kedua adalah mereka yang lebih banyak beraktivitas lewat gallery seni rupa, bahkan sebagian dari mereka sekaligus sebagai pemilik gallery. Umumnya mereka yang tergolong kelompok ini berasal dari latar belakang pendidikan (baik umum maupun seni rupa) tingkat menengah ke bawah dan belajar melukis secara otodidak. Boleh dibilang bahwa lukisan-lukisan mereka tergolong lukisan populer yang banyak diminati masyarakat umum. Karena itu tidak mengherankan bila karya-karya mereka cukup laris di pasaran. Karya-karya meraka dengan mudah dapat kita temui di gallery yang ada di Bukittinggi seperti: di Army Gallery, Rama Gallery, Dayang Gallery dan sebagian kecil di Plaza Lukisan. Beberapa nama yang bisa digolongkan dalam kelompok ini adalah: Alfishera, Armen, Arifin, Army, Hazil Akbar, Nurochim (Dimas Nur), Ragil Suwanto dan Redward.

Sedangkan yang ketiga adalah mereka yang aktivitas seni lukisnya lebih terarah pada sanggar, souvenir dan pelayanan pesanan langsung. John Jambak dan Adji Agam misalnya langsung menggelar lukisan-lukisannya di Sanggar Mutiara Panorama milik mereka sendiri di lokasi wisata Ngarai Sianok, dimana karya-karya mereka banyak dibeli oleh para pengunjung objek wisata tersebut. Kemudian Romi dan Eftitis justru lebih banyak menyalurkan aktivitas seni lukisnya lewat pesanan sketsa wajah. Mereka biasanya mangkal di taman wisata Jam Gadang, yang sangat ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah bahkan turis asing. Boleh dibilang bahwa mereka ini termasuk kelompok pelukis yang memperoleh finansial secara instant dari hasil karyanya. Karena rata-rata karya yang mereka buat adalah pesanan langsung dari pengunjung objek wisata tersebut.

Harus diakui bahwa pemetaan ketiga kategori ini tidak bisa dilihat secara kaku, karena sebagian dari mereka kadang berbaur lebih dari satu arah, baik dalam penyaluran aktivitas maupun kecendrungan karyanya. Seperti yang terjadi pada Mardi Wadra misalnya, di samping karya-karyanya yang tergolong lukisan apresiatif-idealis yang di gelar di Rama Gallery (miliknya sendiri) dan Army Gallery, ia juga ikut bergabung melukis sketsa wajah bersama Romi di taman wisata Jam Gadang. Demikian juga halnya dengan Romi sendiri yang sekaligus juga menggelar karya-karyanya di Rama Gallery. Apalagi pada Arifin, pelukis gaek senior yang tidak asing lagi di Sumatera Barat ini, selain sering mengikuti pameran, lukisannya juga banyak dipesan dan digelar di berbagai gallery Bukittinggi. Begitu juga dengan Asril, Erianto Anas, M. Ramli, Ramizal, Zaglul Fuadi dan Zul Mukhtar (sekelompok guru seni rupa SMK N 1 Ampek Angkek ) yang sebelumnya agak berjarak dengan gallery, justru akhir-akhir ini berbondong-bondong menggelar karyanya di gallery. Kemudian, di samping menunjukkan kecendrungn yang mencolok pada salah satu dari ketiga kategori ini, pada umumnya para pelukis ini juga sudah mengikuti pameran seni rupa, meskipun dengan intesitas yang sangat bervariasi, termasuk mereka yang baru mengikuti 2 bahkan satu kali pameran. Beberapa nama malah cukup dilematis dimasukkan ke dalam salah satu kategori yang ada, karena sulit atau belum terlihat kecendrungan yang mencolok dari keberadaan mereka.

Selain itu, keberadaan para pelukis Bukittinggi ini juga bisa ditinjau dari parameter (ukuran) lain. Misalnya dari segi identitas (ciri khas), umumnya karya-karya mereka masih sulit dipetakan Kecuali Arifin dan Ramizal yang sepertinya sudah menemukan bentuknya sendiri, rata-rata para pelukis ini masih tergolong muda dalam perjalanan kreativitasnya, sehingga masih besar kemungkinan terjadi perubahan dan perkembangan aktivitas dan karya meraka di masa mendatang. Kemudian dari segi kurun waktu, jelas kehadiran mereka sudah berada di rentang waktu era kontemporer (zaman mutakhir). Meskipun umumnya mereka banyak melukis objek pemandangan alam yang digarap secara realistik (peniruan bentuk alam), namun masih bisa dipertanyakan apakah hal ini merupakan kelanjutan dari kecendrungan para pelukis senior dan leluhur mereka seperti pelukis Wakidi dan para pengikutnya. Atau bisa jadi kemunculan mereka justru tegolong a historis (terputus dari akar sejarah seni lukis kota ini)? Begitu juga bila ditinjau posisi mereka dalam kancah seni lukis Nasional, maka bisa dicermati lebih jauh apakah karya-karya mereka sudah berada dalam hitungan wacana seni lukis dalam arti yang sesungguhnya? Tentu semua ini bukanlah pertanyaan sederhana yang juga membutuhkan jawaban yang tidak sederhana.

Namun terlepas dari semua itu, paling tidak inilah sekilas wajah dan pemetaan sementara pelukis Bukittinggi hari ini. Bagaimanapun kehadiran mereka jelas sebuah aset budaya yang patut diapresisai. Bukan tidak mungkin justru ditangan mereka sedang bersemai benih cikal bakal seni lukis Bukittinggi di masa depan. Apalagi ditunjang dengan Bukittinggi sebagai kota wisata, ditambah dengan maraknya kemunculan gallery-gallery seni rupa akhir-akhir ini, tentu merupakan beberapa piranti kesenian yang sangat mendukung. Semoga saja kehadiran mereka dapat mambangkik batang tarandam kejayaan seni lukis Bukittinggi, seperti masa gemilangnya di era pelukis Wakidi tempo dulu.

Erianto Anas


1 comments:

Padri Jamaluddin said...

assalamualaikum para sahabat di bukittinggi khususnya pada pak arifin yng boleh saya akaui juga guru secara tidak lansung .untuk saya hingga ke hari ini saya masih bernafas dengan hasil lukisan.pada tahun 1990 saya pernah konsinyasi dgn hotel pusako bukittinggi dan di beri tempat istimewa.dan 92 lukisan saya saya jual dalam 5 karia untuk bertolak ke MALASIA sudah 18 tahun saya di Malay sia .silahkan buka blog saya Padri Jamaluddin pelukis.keberadaan saya perlu di beri pertimbangan untuk asset pelukis bukitttinggi.saya pernah pameran bersama dosen ikip dan idran wakidi dan kumpulan limo smsr(guru)dan dosen bersama dosen aski'waktu itu diresmikan oleh Bapak bustanul Arifin dan lukisan saya di koleksi nya satu(terjual)dan ajudan gubenur namanya Dedek n kuantani 1992,lebih ditail buka saja halaman saya dgn nama di atas.tanya sama arifin dia mesti tau tentang saya.

Post a Comment