30 March 2010

Membincang Diskusi Seni Rupa Migrasi Tradisi

"Apa yang kita sebut dengan tardisi pada intinya hanyalah sebuah kampung halaman yang telah hilang… dan gairah untuk kembali ke tradisi itu pun tak lebih dari semacam rasa sakit eksistensial yang ingin melarikan diri dari kekinian…”

Itulah sepenggal statemen yang dilontarkan Iswadi Pratama dalam diskusi seni rupa pada hari ke-2 Pameran Seni Rupa Karya Pilihan II di Lampung pada tanggal 22 Maret 2006 yang lalu. Ucapan itu tentu saja masih mengundang tanya bagi para peserta yang hadir lebih kurang 80 orang saat itu. Bahkan bagi sebagian peserta, mungkin pandangan itu terasa bagai pisau kritis yang mencabik-cabik pemahaman yang sudah given terhadap apa yang kita sebut sebagai tradisi selama ini.

Diskusi Seni Rupa itu menghadirkan 3 orang pembicara dengan kapasitas yang bebeda. Rizki A.Jailani, seorang akademisi dari ITB sebagai pembicara pertama bertindak atas nama kurator, kemudian sesi kedua dilanjutkan oleh Iswadi Pratama, seorang penyair dan pengamat seni dari Lampung, dan terakhir ditutup oleh Mamannoor, seorang kurator dan pengamat seni berskala Nasional yang juga dari ITB.

Rizki A. Jaelani membuka pembicaraannya dengan menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan Migrasi Tradisi, yang sekaligus merupakan tajuk pameran seni rupa pada saat itu. Tradisi yang dimaksud bukanlah tradisi dalam pengertian yang statis. Rizki menegaskan bahwa Tradisi sebenarnya bukanlah sebuah wilayah, bukan sebuah fase permanen, melainkan adalah sebuah proses, sebuah usaha, sebuah kerja atau tindakan dalam menuju cita ideal. Karena itu tradisi lebih tepat dipahami sebagai posisi antara atau situasi liminalitas, dimana segalanya hanya dalam kesementaraan. Sedangkan migrasi dipahami sebagai perpindahan dari satu tradisi ke tradisi lainnya, sebuah perpindahan dari suatu posisi ke posisi berikutnya.

Pada kesempatan itu Rizki juga menjelaskan bahwa kurator sebagai salah satu piranti kesenian sebenarnya masih merupakan taradisi baru di Indonesia. Bahkan pameran itu sendiri, berikut kritikus dan Balai Lelang pun sebenarnya juga masih tergolong ritual (tradisi) baru dalam dunia kesenian kita. Tetapi itulah sebuah migrasi dan tradisi baru yang perlu disambut dan dikembangkan, semacam strategi kebudayaan dalam pemberdayaan dunia seni rupa. Karena itu oposisi binner yang selama ini sudah terindoktrinasi dalam kesadaran kita harus dilebur. Penguasa-rakyat, seniman- penikmat, produsen-konsumen dan seterusnya tidak mungkin lagi dipahami sebagai sekat-sekat atau dinding yang saling membatasi apalagi saling melenyapkan, tetapi semua kutub itu adalah sebuah piranti kolosal dalam semesta kebudayaan kita yang saling mendukung.

Selanjutnya, pada sesi kedua diskusi seni rupa itu dilanjutkan oleh Iswadi Pratama yang mengupas masalah tradisi dalam konteks kekinian. Iswadi mengawali pembicaraanya dengan mengutip Francis Fukuyama dengan tesisnya titik balik sejarah. Kini arus kebudayaan manusia seakan-akan sudah tamat (the end) dan mencapai titik nadirnya. Apa yang dianggap sebagai cita ideal kebudayaan manusia pada akhirnya hanyalah sebuah ruang kosong yang tak bermakna. Sebutlah misalnya bagaimana impian modernisme yang begitu berambisi untuk meraih dan memaknai kehidupan secara totaliter. Tetapi sejarah mencatat ternyata modernisme gagal menjawab segala persoalan kemanusian, bahkan justru modernisme juga menimbulkan masalah-masalah baru yang harus dicarikan jalan keluarnya di luar modernisme itu sendiri. Akhirnya berbagai jalan baru di rambah unuk mengatasi kebuntuan itu. Muncullah berbagai jalan alternatif: mulai dari kebangkitan agama, menggali kearifan Timur, kembali ke tradisi, Local jenius, ekstase kesenian, dan seterusnya. Tetapi apakah jalan-jalan alternatif itu dapat menjawab segala persoalan?

Iswadi melanjutkan bahwa impian kita untuk menemukan jawaban hakiki terhadap setiap persoalan kebudayaan secara konseptual hanya berakhir dengan sia-sia. Dalam konteks kesenian misalnya, apa itu tradisi, migrasi, identitas, lokal jenius, nilai-nilai intrinsik, aura, vibrasi karya seni dan seterusnya hanyalah pertanyaan-pertanyaan terakhir yang memboroskan energi berkesenian kita. Semuanya hanya proses yang selalu berdialektika, sebuah mata rantai trial and error yang tak berkesudahan. Tak ada satu titik suci yang hadir begitu saja dalam bentangan sejarah kebudayaan manusia. Apa yang kita sebut dengan tradisi dan identitas misalnya tak lebih dari sebuah posisi yang selalu bergerak dan berubah. Lantas dimana lagi urgensinya kita bicara identitas? Tanya seorang peserta.

Iswadi menjawab, mencari identitas bagai mengupas kulit bawang. Mencari inti bawang dan membongkar lapis demi lapis akhirnya sama saja menghabisi bawang itu sendiri. Yang tersisa hanyalah kekosongan. Lantas apakah ini merupakan suatu cara untuk membunuh dan mengakhiri gairah berkesenian kita? Bagi Iswadi, kiranya pertanyaan-pertanyaan ontologis (hakikat) metafisis ini sudah harus diakhiri. Dengan mengutip Andi Warchol, Iswadi ingin menebas setiap pertanyaan-pertanyaan yang ingin meraih jawaban Absolut dan General terhadap makna-makna seputar kebudayaan. Untuk apa kita berkesenian? Dimana akar tradisi kita, identidas kita, roh dan aura karya kita? Ambisi yang bersusah payah untuk menjawab semua pertanyaan ini pada akhirnya tak lebih dari semacam suara narkisus yang tak sanggup menerima diri apa adanya, semacam kegamangan dan rasa sakit psikologis yang dibawa lari ke kampung halaman tempat bernaung yang bernama tradisi, identitas dan sebagainya.

Iswadi pada kesempatan itu benar-benar mendekonstruksi konsep-konsep kebudayaan yang sudah lazim dipahami. Para peserta seakan menyaksikan sebuah opera kata-kata yang memukau sekaligus membingungkan. Tetapi apakah Iswadi hanya seorang pengacau paradigma yang elegan? Dalam pembicaraan santai penulis dengan Iswadi seusai diskusi, beliau menyatakan bahwa ini sebenarnya bukan suara pesimistik, tetapi adalah udara bebas, sebuah landasan pembebasan kreativitas seorang seniman. Hanya dengan menyadari ruang kosong itulah kretivitas seniman menggelinding tanpa beban. Iswadi menyebutnya dengan istilah ruang morfo genesis, sebuah wilayah penciptaan yang tak mengenal batas dan rambu-rambu. Di situlah tempatnya seorang seniman tidak terusik oleh hiruk pikuk belenggu dan keterbatasan.

Seusai Iswadi, pada sesi penutup, pembicaraan dilanjutkan oleh Mamannoor yang mengawali pembicaraannya dengan memutar CD pameran seni rupa Cina dimana Maman sendiri terlibat sebagai kuratornya. Dengan gaya bicaranya yang santai dan penuh humor peserta diskusi seakan mulai bernafas kembali setelah 2 pembicara sebelumnya membicarakan perihal konsep-konsep yang melayang-layang di udara. Pada Maman tema pembicaraan langsung menukik ke bumi (kongrit operasional), yaitu masalah pasar seni rupa dan strategi dalam mensiasatinya.

Sambil mengikuti halaman-demi halaman CD pameran seni rupa Cina bersama peserta, Maman mengomentari bahwa lebih dari separoh karya-karya seni rupa Cina itu sebenarnya tergolong biasa-biasa saja. Jika ada yang tampak begitu memukau, toh di Indonesia sendiri juga ada karya-karya yang mengundang rasa kagum kita. Bahkan lebih jauh Maman menegaskan, sebenarnya antara kita dengan mereka (perupa Cina) terjadi proses saling mengintip, dimana kita mengagumi karya-karya mereka dan sebaliknya mereka juga mengagumi sebagian karya-karya kita. Lantas apa yang membuat karya-karya Cina begitu mendominasi pasar seni rupa dunia saat in?

Maman menjelaskan bahwa inilah strategi kebudayaan. Ada hegemoni wacana dan indoktrinasi image pada publik. Kenapa lukisan-lukisan klasik seperti Monalisa misalnya begitu dikagumi dunia sampai hari ini, seakan-akan tak ada lagi lukisan yang bisa menyamai apalagi menandingi kejayaan Monalisa. Tetapi benarkah begitu adanya? Maman berpendapat bahwa di balik mutu sebuah karya, masalah strategi pasar sangat menentukan dan tak bisa dihindari. Bukan tidak mungkin hari ini sudah banyak karya-karya baru yang menyamai bahkan mungkin menandingi Monalisa, tetapi semuanya seakan tenggelam dalam kepulan kharisma lukisan-lukisan klasik yang sudah diindoktrinasi secara kolosal dan berabad-abad lamanya. Bukankah tidak mungkin indoktrinasi itu juga kita lakukan terhadap karya-karya perupa kita di sini dan pada hari ini?

Maman lebih jauh menjelaskan bahwa kita perlu semacam countra wacana. Yang terjadi selama ini kita lebih senang memamah paradigma seni yang dilancarkan Barat terhadap kita (mungkin dunia). Tanpa bermaksud anti pati terhadap Barat, meminjam istilah Iswadi, kita perlu melakukan semacam oksidentalisme kebudayaan, sebagai contra dari orientalisme kebudayaan dari luar, sehingga posisis tawar kita menjadi seimbang. Lantas dari mana semua itu bisa dimulai?

Pemandangan berkesenian yang tampak di Cina seakan-akan menampar kesadaran berkesenian kita di tanah air. Maman menuturkan bahwa di Cina, segenap piranti kebudayaan (seni rupa) betul-betul mendukung bahkan tak terpisahkan. Mulai dari perupa, kritikus, kurator, media masa, jurnal, perpustakaan, minat baca dan seterusnya
tumbuh subur dan saling menunjang. Sebuah buku seni rupa misalnya bisa dijual begitu murah di sana. Karena apresiasi seni dan minat baca masyarakat terhadap seni sudah tinggi, maka penerbit berani mencetak dan menerbitkan buku seni rupa dengan oplah yang besar dan harga yang murah. Kenapa apresiasi masyarakat tinggi terhadap seni rupa? Karena banyak kritikus dan kurator yang mensyiarkan dan menancapkan wacana pada masyarakat. Kenapa ada banyak kritikus dan kurator di sana? Karena banyak seniman (perupa) dan iklim yang menjajikan dalam dunia seni rupa. Bahkan terakhir yang tidak kalah penting yang menjadi catatan adalah teknologi jaringan, sistem informatika. Ini semua sudah menjadi hal yang biasa di sana. Singkatnya ada semacam infra struktur dan mata rantai kebudayaan yang saling mendukung. Tetapi bagaimana kondisi kita di tanah air? Inilah suatu persoalan.

Maman mengingatkan bahwa banyak hal yang perlu dibenahi sebenarnya sehubungan dengan iklim dan pasar berkesenian di tanah air. Mulai dari mentalitas perupa, kritikus, kurator, paradigma baru, media massa, posisi tawar, teknologi jaringan dan sebagainya. Membangun iklim kesenian hari ini tak cukup hanya dengan berkarya dan berteriak di dalam kamar. Semua piranti kebudayaan perlu dibangun dan diberdayakan. Jika tidak, kita akan dilumat oleh wacana dan pasar seni dunia, terutama Cina saat ini yang sedang booming di pentas seni rupa dunia..

Begitulah diskusi seni rupa yang diadakan di Taman Budaya Lampung yang pada mulanya dibuka oleh Kepala Galeri Nasional Jakarta, Tubagus Sukmana dan Kepala Taman Budaya Lampung, Azwar Rais. Sapto Wibowo yang bertindak sebagai moderator saat itu seakan tak kuasa menyimpulkan hasil diskusi yang berlangsung cukup lama dan padat materi, kecuali hanya sanggup berkomentar: “Inilah diskusi seni rupa terpanjang dalam sejarah seni rupa Lampung “. Akhirnya, dengan dikomandoi oleh Subardjo, ketua panitia pameran, perhelatan seni rupa sore itu ditutup dengan berfoto bersama.

Erianto Anas


0 comments:

Post a Comment