18 February 2010

Padang Memang Edan

“Padang memang edan!”
Itulah sepenggal komentar sekelompok pelukis Malang ketika menyaksikan pameran lukisan para pelukis Sumbar di Semar Art Gallery Malang pada tanggal 19 Maret-8 April 2007 lalu. Ucapan itu muncul karena di benak mereka selama ini Sumbar memang tidak masuk dalam hitungan peta seni lukis Indonesia. Mereka hanya mengenal seni lukis Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Bali.

Tetapi pameran lukisan yang bertema Sa-Rantak ini ternyata cukup mengejutkan mereka. Di luar dugaan, Sumbar yang lazimnya dikenal dengan seni lukis naturalis atau pemandangannya selama ini, ternyata pada pameran ini tak satu pun mereka temukan karya-karya yang demikian. Boleh dikata semua karya yang digelar pada pameran ini memperlihatkan kecendrungan pada modern art, meskipun dengan teknik dan gaya yang amat variatif. Karya-karya Erianto MD (Nyanyian Rakyat), Erlangga (Kesederhanaan), Irwandi (Mengurung Putih dan Batas Bayangan), Indra (Mimpi yang Terbeli), Syafrizal (Spirit of Change dan Mengisi Ruang) dan Yasrul Sami Batu Bara (Paradigma dan Menampung) misalnya, yang amat kental nuansa abstraknya, jelas amat jauh dari tradisi seni lukis Sumbar yang dikenal selama ini. Boleh dikata karya-karya mereka justru lebih dekat dengan abstraknya Jogja, seperti yang tampak pada karya-karya perupa kelompok seni Jendela, yang nota bene juga berasal dari Sumbar.

Begitu juga dengan karya-karya Amrianis (Eksplodasi dan Ketika Kecil Di Atas yang Besar), Dwi Agustyono (Anomali dan Berlabuh), Erianto Anas (Anggur Metropolis dan Spiritualitas Millenium), Erianto (Dikala Hijau dan Jatuh Harga), Herisman Tojes (Jalur Kehidupan dan Back to Natural), Puti Nurdiati (Kado untuk Teman), dan Zirwen Hazry (Gamang dan Menguji Kesabaran). Meskipun umumnya teknik penggarapan karya-karya mereka bercorak realistik, tetapi bukan dalam pengertian realisme/naturalisme yang menjadi ciri khas seni lukis Sumbar selama ini. Sebagian karya mereka malah menunjukkan realitas yang lucu, aneh dan penuh ironi. Dari segi tampilan karya-karya mereka tampak sangat minimal, baik dari segi objek, teknik penggarapan apalagi dari keruwetan visual. Meskipun minimal dalam tampilan, namun karya-karya mereka amat sarat dengan simbol dan makna. Dari segi warna, yang dalam seni lukis realis/naturalis lazim dikenal dengan istilah warna matang, jusrtu karya-karya mereka lebih banyak didominasi oleh warna-warna pastel yang cerah, yang lazimnya digunakan dalam dunia advertising (periklanan).

Lain lagi dengan Alza Ardison (Super Snail Car dan Rumah di Atas Bukit), Iswandi (Hanya Sehelai Daun dan Menunggu Bergantinya Musim), M. Ridwan (Nostalgia III dan Perspektif III) dan Sony Nofriyantono (My Way). Karya-karya mereka amat menonojol dengan objek-objek simbolik. Secara visual memang masih menampakkan citra realistik, namun realitas yang mereka tampilkan sudah merupakan realitas baru di atas bangunan pikiran yang mereka tata sendiri. Sebutlah sebuah realitas yang sudah mereka permainkan sebagai corong gagasan kritis yang mereka usung.

Di bagian lain, karya Heldi (Culture II dan Elok-elok Runyam) menunjukkan sebuah kecendrungan tersendiri diantara karya-karya lain pada umumnya. Karyanya di sini amat kentara mengangkat simbol-simbol Minang seperti carano, gadis dan bagunan rumah adat minang. Namun objek-objek ini bukan lagi ditata dalam setting landscape yang lazimnya terlihat pada lukisan realis/naturalis, melainkan sudah diobrak abrik dan tumpang tindih, sehingga hasil akhirnya penuh dengan kejutan ruang dan imaji.

Begitu juga dengan karya-karya Nasrul (Bayang-bayang Pancang Emas dan Pancang Emas di Batas Cakrawala) yang sekilas tampak mirip kaligrafi ini juga menunujukkan keunikan tersendiri. Dari segi tampilan karyanya juga terlihat sangat minimal, yang tampak pada permainan pola geometris, komposisi yang simpel dan tampilan warna yang monochrome (satu turunan). Keunikan karya Nasrul amat kentara pada permainan teksturnya, yang bila diamati tampak menggambarkan sebuah eksplorasi (eksperimen) teknik yang amat serius dan telaten.

***
Lebih jauh sekelompok pelukis Malang yang menghadiri pameran ini juga sempat menyatakan bahwa pameran ini merupakan warna baru dari seni lukis Indonesia. Tentu saja ucapan ini cukup mengejutkan dan bisa mengundang perdebatan. Tetapi jauh hari sebelumnya, hal senada juga pernah dinyatakan Mamannoor (kurator dan kritikus nasional dari Bandung) dalam berbagai event pameran dan diskusi seni rupa yang diadakan di Sumatera. Ia mengatakan bahwa seni lukis Sumbar mulai dilirik sebagai alternatif baru seni lukis Indonesia, yang di beberapa wilayah Jawa sudah mulai mengalami kejenuhan. Penilaian dan perkiraan yang sangat membesarkan hati ini tentu saja tidak harus ditelan mentah-mentah. Namun paling tidak, secara psikologis jelas ini sebuah respon yang sangat menggembirakan. Di sisi lain, ini bisa berarti bahwa posisi seni lukis Sumbar yang selama ini dianggap berada di garis pinggir peta seni lukis nasional, hari ini tampak mulai bergeser.

Selain itu, usai pembukaan pameran ini (Senin, 19 Maret 2007) yang merupakan event kolaborasi antara Mamannoor dengan Semar Art Gallery, juga mendapat respon dari sejumlah kolektor yang hadir pada saat itu. Christine Ivonnnella (pemilik gallery tersebut) pada malam pembukaan itu melaporkan sudah tercatat sebanyak 45 kolektor yang menghubunginya. Tentu saja bisa dipertanyakan apa artinya dihubungi oleh kolektor ini. Apakah sudah ada karya yang layak mendapat label sold (terjual)? Apakah mereka baru berniat membeli, suatu saat akan membeli, mengajak kerjasama atau hanya sekedar ungkapan simpati? Berbagai penafsiran bisa berkembang ke segala arah. Ya… berbagai respon, pujian, tawaran, iming-iming bahkan juga kritik jelas sudah konsekwensi dari sebuah pameran. Selain sebagai wadah apresisasi publik, sebuah pameran juga sebuah ajang, sebuah gelangggang, dimana di situ juga berkumpul sejumlah kepentingan yang amat beragam. Tetapi lepas dari semua itu setidaknya pameran ini telah membawa 40 lebih karya dari 19 pelukis Sumbar ini pada sebuah gelangang seni yang lebih luas, yang ternyata cukup mendapat sambutan dari pengunjung.

Di sisi lain juga diakui bahwa pameran Semar Art Gallery ini juga tidak melulu mendapat tanggapan yang positif dari semua pihak di Sumbar, baik dari kalangan perupa maupun pemerhati seni rupa. Ada yang menilai bahwa pameran ini pada intinya hanya sebuah pameran hiburan. Pasalnya, pameran ini dinilai ada kaitannya dengan pameran seni lukis karya pilihan II yang diadakan di Lampung pada tanggal 21-26 Maret 2006 lalu. Entah bagaimana, pameran Lampung itu akhirnya usai bermasalah. Paling tidak gejala itu dirasakan oleh sebagian peserta pameran dari Sumbar, yang buntutnya berimbas pada pemulangan sebagian karya mereka yang hingga hari ini masih ada yang belum tuntas. Sementara separuh dari karya yang digelar di Semar Art Gallery Malang merupakan karya-karya seusai pameran Lampung. Karena itulah sebagian pihak menilai bahwa Pameran Semar Art Gallery ini hanya sebuah pengobat kekecewaan bagi para perupa Sumbar, yang bisa jadi dijembatani oleh Subardjo (ketua panitia pameran Lampung) dengan Mamannoor (kurator tetap Semar Art Gallery Malang).

Diakui memang bahwa pameran Lampung tersebut telah meniggalkan sejumlah persoalan. Namun anggapan yang mengaitkan hal ini begitu saja dengan pameran Semar Art Gallery jelas harus bisa dipertanggung-jawabkan secara objektif. Bisa jadi pameran Semar Art Gallery untuk pelukis Sumbar ini sudah merupakan agenda yang jauh hari sebelumnya sudah direncanakan pihak penyelenggara, meskipun juga tidak tertutup kemungkinan bahwa anggapan itu juga bisa benar. Artinya berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Paling tidak setiap anggapan tentu harus dibuktikan lewat konfirmasi dan klarifikasi dengan kedua pihak terkait. Berbagai masalah dalam praktek event-event seni rupa memang bisa saja terjadi dan malah sudah sering terjadi, mulai dari masalah-masalah yang terkait dengan organisasi, kepanitiaan sampai pada pendangkalan dan pelacuran nilai-nilai seni rupa itu sendiri.

Tetapi terlepas dari semua itu, yang jelas Pameran di Semar Art Gallery Malang ini telah berlangsung cukup membesarkan hati para pesertanya, terutama beberapa orang peserta yang sempat menghadiri acara tersebut secara langsung (Amrianis, Erianto, Heldi, Herisman Tojes, Iswandi, Yasrul Sami Batu Bara dan Zirwen Hazry). Amrianis, yang tampil menyampaikan pengantar pameran atas nama para peserta pada acara pembukaan, menuturkan: “Wah… luar biasa biasa. Secara apresiatif kita boleh dibilang sukses!” Kemudian ia juga menambahkan “Melihat respon para pelukis dan komunitas perupa di sana, termasuk juga Yogyakarta, bukan tidak mungkin pameran ini juga akan mendapat tawaran pameran lanjutan ke kota-kota lain di Jawa”. Demikian juga dengan laporan Zirwen Hazry yang menuturkan sambutan sekelompok pelukis Malang yang dengan antusias mengatakan Padang Memang Edan! Kegembiraan para peserta pameran ini agaknya bisa dimaklumi, mengingat Semar Art Gallery merupakan salah satu gallery apresiatif dan komersial yang cukup representatif di tanah air, yang dalam programnya juga menjalin kerjasama di bidang pemikiran dan event-event seni rupa di kawasan Asia-Pasifik, terutama dengan Cina. Tentu ini ibarat angin segar, yang bisa menjadi salah satu tangga prestasi bagi mereka yang benar-benar ingin berkarir di kancah seni lukis yang lebih luas

Erianto Anas


1 comments:

yeni novia said...

Tulisan yang cukup menarik

Post a Comment