18 February 2010

Hegemoni Seni Rupa

Ada pandangan yang bersikukuh mengatakan bahwa seni itu harus indah, baik dan bermanfaat. Tetapi sebaliknya juga ada yang mengatakan justru seni itu tidak harus indah, tidak moralis dan tidak harus bernilai guna. Masih banyak hal-hal lain sebenarnya yang juga menjadi perdebatan dalam seni rupa. Pertanyaannya kemudian adalah apakah ada standar objektif, nilai-nilai absolut dan bergaransi yang bisa menjadi acuan untuk mengakhiri perdebatan ini?

Dalam paradigma ilmu pengetahuan dan filsafat, seni rupa bukan dimasukkan dalam wilayah sains atau ilmu pengetahuan positif. Kiekegard (1813-1855) misalnya, mempetakan tiga pendekatan dalam pemaknaan hidup: Estetis, Etika, Religius. Ia berpendapat bahwa seni menjadi dasar dalam proses kesadaran manusia. Secara bertahap, melalui seni, manusia kemudian diantar menuju fase etika (moral), dan puncaknya kemudian pada religiusitas. Artinya meskipun bukan berada di wilayah ilmiah, tetapi pengaruh dan posisi seni amat menentukan. Tetapi sosiolog August Comte (1798-1857) melihat evolusi kesadaran masyarakat secara berbeda, 3 fase kesadaran masyarakat dimulai dari tahap agama, metafisika, dan akhirnya positivisme. Ia berpendapat bahwa watak dasar masyarakat primitif memang condong pada agama, kemudian berkembang kepada hal-hal metafisika (makna-makna hakiki), dan terakhir pada tahap yang paling maju yaitu tahap positif, tahap ilmiah (ilmu pengetahuan). Memahami Comte, seni berarti berada di wilayah metafisik, karena seni lebih banyak memperbincangakan soal makna (meaning). Paling tidak itulah dua pandangan yang paling ekstrem dalam memposisikan seni dalam kehidupan.

Jika demikian, seni memang bukan objek ilmiah, berarti tidak ada definisi absolut dan hal-hal objektif dalam seni rupa? Tetapi faktanya sejarah menunjukkan kenapa sebuah paham, ideologi seni rupa begitu mempengaruhi malah bercokol sekian lama dalam kurun waktu tertentu? Sebutlah paham realisme, realisme sosial, impressionisme, seni abstrak, seni moralis, dan seterusnya. Apakah itu karena ada kebenaran objektif yang meyakinkan dari paham itu? Jika, di luar objek ilmiah tidak ada hal absolut, berarti segala pemahaman dan kebenaran objektif telah runtuh di luar sains. Meminjam analisis Antonio Gramsci, ini tidak lebih dari sebuah hegemoni, sebuah kekuasaan paham, ideologi ataupun pemikiran. Seperti diungkap Michel Focault bahwa di level sosial, kebenaran identik dengan kekuasaan. Artinya apa yang dipublikasikan, disebar luaskan bahkan dipaksakan secara politik, itulah yang akan dianut secara kolektif. Tetapi benarkah yang dianut dan yang mengusai itu benar secara objektif? Itu lain persoalan. Artinya dari sudut kekuasaan, kebenaran bukan tersebar karena kevalidannya, melainkan hanya karena proses sosial, publikasi, pemberdayaan, kaderisasi, indoktrinasi bahkan politisasi, seakan watak dasar munusia secara sosial demikian, apa yang terbentuk secara sosial, kolektif, maka secara alam bawah sadar masyarakat cendrung terindoktrinasi, ikut terhegemoni. Gramsci dalam hal ini berpendapat bahwa tidak ada kebenaran objektif, yang ada hanya hegemoni, sebuah bangunan kekuasaan yang ditata sedemikian rupa sehingga menjadi kukuh dan langgeng. Intelektual yang bergerak di sini bukan lagi intelektual tradisional, malainkan dalam istilah Gramsci, adalah intelektual organik, yaitu intelektual yang langsung terjun sebagai praktisi, bila perlu dia juga seorang pemimpin partai. Jadi dalam dirinya, bergabung kacakapan inteleketual dan kecakapan praktis-politis.

Bila dicermati, sejarah seni rupa pernah mengalami masa indoktrinasi-isme, malasah aliran. Sudah mengakar kuat dalam kesadaran seniman dan pelajar seni bahwa seorang seniman harus memilih suatu gaya atau aliran tertentu dalam berkarya seni rupa, sehinggga setiap detail penggarapan karyanya mesti mengacu pada teori-teori yang diacunya, jika tidak cocok berarti salah. (bayangkan juga ada kata-kata salah dalam perbincangan ini) Dari mana datangnya paham ini? Ya tentu tidak mungkin hanya dari segelintir orang, melainkan tentu kolektif, segenap komunitas seni rupa itu sendiri, terutama dalam hal ini adalah penulis, teoritikus, dosen dan pengajar seni rupa. Yang melahap dan terindoktrinasi teori ini tentu saja termasuk korban dari proses hegemoni itu sendiri.

Hal seperti ini pernah menjangkiti iklim pendidikan dan berkesenian di Seni Rupa IKIP dan beberapa sekolah seni rupa di Padang. Baru kemudian, sepulang Nasbahry Couto menyelesaikan studi S-2 Seni Rupanya di ITB ia membawa perubahan pandangan. Ia mengatakan bahwa masalah aliran kini sudah tidak ada lagi, sudah tidak menjadi persoalan, sudah tamat. Soal gaya, itu soal pilihan pribadi, dan itu amat privasi. Waktu itu banyak komunitas dan seniman Sumbar kaget, tetapi secara perlahan, semakin banyaknya dosen dan pengajar seni rupa Padang yang melanjutkan pendidikan S2 Seni murninya baik di ITB maupun ISI, termasuk para seniman Sumbar yang sengaja berkarir di Bandung dan Jojga, maka pandangan itu lama-lama diterima secara biasa. Artinya, bukan tidak mungkin beberapa pandangan tentang seni rupa juga merupakan sebuah endapan lapiasan hegemoni demikian. Meminjam istilah Focault, ada proses fosilisasi pemahaman, sehingga pemahaman itu sudah membatu, sehingga sulit untuk dicongkel apalagi dibongkar.

Sehubungan dengan ini ada suatu yang menarik dengan pameran lukisan pa.no.ra.ma di Sighi Art Gallery Bukittinggi 3-26 Agustus 2007 lalu. Bagi saya, sulit membedakan antara karya-karya Stevan Buana, Afdhal, Julnaidi MS (perupa Sumbar asal Yogyakarta), dengan karya-karya Irwandi, Iswandi, Yulfa Haris Saputra (perupa Sumbar asal daerah) misalnya. Baik dari segi tampilan, kualitas, maupun tema saya melihat tidak ada perbedaan yang begitu mencolok. Tetapi kenapa publik (kolektor, mungkin juga kurator) biasanya ngotot mengatakan bahwa lukisan Stevan memang jauh lebih hebat? Mungkin diakui sekian persen memang ada faktor objektif yang menyebabkan karya Stevan lebih kuat, lebih bermutu, tetapi mereduksi itu saja yang mempengaruhi saya kira juga tidak proporsional. Artinya tetap ada faktor-faktor x di luar analisis objektif saja.

Sebagai perupa, Stevan memang bukan anak kemaren sore. Ia sudah meniti karir, malang melintang di kancah seni rupa Nasional sekian lama. Selain beberapa faktor objektif, tentu ia dan karyanya sekaligus juga sudah menjadi objek wacana seni rupa, mungkin juga entartainmennya dunia seni rupa. Cepat atau lambat, semua itu secara akumulatif akan membentuk sebuah kepulan citra, image, dan itu akhirnya menghegemoni hati dan pikiran publik. Itu sebabnya dalam hal ini misalnya, bisa jadi publik akan ngotot mengatakan bahwa karya Stevan tetap jauh lebih hebat dari karya Irwandi misalnya, walaupun secara objketif mungkin hal itu masih bisa diperdebatkan.

Artinya, bagaimana pun, sekian persen, baik teori, paham, kecendrungan dan selera publik pun tidak bisa lepas sepenuhnya dari proses hegemoni, proses pembentukan citra dan image ini. Fakta ini bukan sebuah borok atau dunia hitam seni rupa. Tetapi adalah sebuah realitas yang tidak bisa dipungkiri, bisa jadi watak dunia seni itu sendiri. Sebagai hal subjektif, dunia seni dalam arti kesenian (seni murni) penuh dengan dunia imaji, dunia maya (virtual), atau meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, dunia hiper realitas, dunia seolah-olah, bukan realitas sebenarnya. Hegemoni dalam hal ini bukan sesuatu yang bisa dielakkan sepenuhnya, melainkan sebuah daerah kantong yang selalu ada dalam kancah seni rupa. Dalam konteks karir, ini sesuatu yang manusiawi dan sebuah fakta dinamika sosial, hanya saja jangan sampai diartikan terlalu lacur, sehingga melulu diekspos tanpa nilai dan bobot karya yang sesungguhnya.

Erianto Anas


0 comments:

Post a Comment