Gallery seni rupa, dalam hal ini termasuk salah satu piranti kesenian yang dimaksud, pertumbuhan dan perkembangannya akhir-akhir ini tampak kian marak. Kehadirannya, ikut berperan dan mempengaruhi dunia dan iklim seni rupa, baik yang berorientasi komersil, apresiatif maupun yang menggambungkan keduanya, baik yang pemiliknya seniman, kolektor, maupun pengusaha yang apresiatif terhadap seni.. Sejalan dengan kemunculannya, di kalangan perupa pun banyak yang sudah mulai atau tidak lagi alergi bekerja sama dengan gallery, bahkan sebagian ada yang meniti karir kesenirupaannya melalui gallery-gallery yang mereka nilai sejalan dengan konsep dan idealisme mereka. Memang tidak semua sepakat dengan sikap demikian, baik dikalangan pengamat, krikitus maupun di kalangan seniman sendiri. Namun dalam kenyataannya, kondisi ini, dengan berbagai bentuk dan variasinya, tetap berlangsung. Sehubungan dengan ini kritikus seni rupa Bambang Bujono pernah mengakui bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian denyut nadi seni rupa kita justru dipompa oleh gallery-gallery seni rupa.
Di Bukittinggi, hingga saat ini sudah tercatat sebanyak 5 gallery seni rupa: Army Gallery, Dayang, Gallery Yazid, Plaza Lukisan dan Rama Gallery. Angka ini tentu saja tanpa mempersoalkan kriteria gallery sebagaimana mestinya. Dalam waktu dekat angka ini tampaknya juga akan bertambah. Pasalnya dalam waktu dekat, di Jl. Jenderal Sudirman No. 24 Bukittinggi juga akan muncul satu gallery lagi (Sighi Art Gallery). Gallery ini didirikan oleh tiga orang yang saling berteman akrab (tiga serangkai) dengan latar profesi yang berbeda: Novi Dyanisiar (photografer dan pengusaha), Ihksan Attariq (Pengusaha) dan Hendra Sardi (Pelukis).
Sebagai pendatang baru, gallery ini berbeda dengan gellery seni rupa lainnya yang ada di Bukittnggi, bahkan juga dengan gallery-gallery yang ada di kota-kota lain di Sumatera Barat. Gallery ini lebih menekankan aspek apresiatif ketimbang aspek komersial. Karena itu karya-karya yang ditampung dan digelar juga mempertimbangkan konsep dan idealisme si seniman yang tergambar pada karya-karyanya . Artinya di meskipun juga memasuki pasar, gallery ini tetap lebih menitik beratkan aspek aprsiatif ketimbang hanya mengikuti selera pasar, apalagi pasar seni dalam pengertian konvensional.
Dalam pengelolaannya Sighi Art gallery tidak dikelola sendiri oleh pemilik gallery atau dengan istilah pakiah langkok yang merangkap segala-galanya, tetapi ada tim manajemen yang bertugas sesuai kapasitasnya masing-masing. Bahkan untuk menunjang pengelolaan dan pengembangan di bidang konsep dan nilai-nilai kesenirupaannya gallery ini akan memiliki seorang kurator tetap. Dengan sistem pengelolaan demikian, gallery ini berharap bisa mengelola dan mengembangkan kiprahnya dengan lebih efektif, misalnya dengan mengadakan berbagai agenda tahunan yang relevan seperti pameran tetap dan berkala, diskusi seni rupa, workshop, dan berbagai lomba kreativitas di bidang seni rupa. Boleh dikatakan gallery ini berupaya dan memiliki visi sebagaimana tipologi gallery-gallery seni rupa dalam pengertian akademis, yang tidak melulu berdagang karya seni rupa, melainkan juga ikut memberi pembelajaran, sosialisasi dan apresiasi seni rupa kepada publik yang lebih luas.
Galery ini direncanakan akan diresmikan pada tanggal 21 Juli 2007 mendatang, dan pada saat itu sekaligus akan diadakan pameran lukisan dengan tema Pa.no.ra.ma. Pameran ini dikuratori oleh Mikke Susanto, kritikus seni rupa Nasional dari Yogyakarta. Pameran ini diikuti khusus oleh perupa asal Sumbar, baik yang berdomisili di daerah maupun di luar daerah seperti Pekan Baru, Jambi, Lampung, dan Yoyakarta. Diperkirakan sekitar 60 pelukis dengan 60 karyanya akan digelar pada pameran ini. Melalui upaya dan terobosan Mikke Susanto, gallery ini diusahakan akan diramaikan oleh pengamat, kritikus, seniman dan kolektor dari luar daerah seperti Bandung dan Yogyakarta. Selain pameran lukisan, pembukaan gallery ini juga akan dimeriahkan dengan serangkaian acara pendukung lainnya seperti: diskusi seni rupa, lomba mewarnai, lomba menggambar, pegelaran tari dan musik.
***
Bila dicermati, beberapa hal dapat dinilai sebagai dasar pijak yang menjadi modal dasar kemunculan dan keberadaan Sighi Art gallery ini. Pertama, dulu, Bukittinggi merupakan basis pendidikan seni rupa di Sumatera Barat dan juga telah melahirkan seniman-seniman berprestasi, seperti Wakidi yang tidak asing lagi dalam sejarah seni rupa Sumatera barat bahkan Nasional. Kedua, perkembanagan iklim berkeseni-rupaan di Sumatera Barat akhir-akhir ini tampak kian marak. Ini terlihat dari kian banyaknya jumlah seniman, kegiatan dan diskusi seni rupa. Ketiga, sebagai kota wisata agaknya Bukittinggi amat kondusif bagi iklim, pasar dan medan berkesenian. Dan keempat, saat ini semakin banyak para perupa asal Sumbar yang berprestasi tersebar di luar daerah, teruatama di Yogya dan Bandung,. Dinilai ini tentu bisa menjadi jaringan (jembatan) untuk sosialisai, penyebaran dan kerjasama antar gallery, kritikus, dan kolektor di luar daerah (Nasional).
Sebagai salah satu piranti kesenian (seni rupa), dapat dikatakan bahwa kemunculan Gallery ini merupakan khabar baik bagi dunia seni rupa Sumbar, baik bagi para seniman, kritikus, pengamat, pencinta seni maupun kolektor. Apalagi banyak pihak (terutama komunitas seni rupa Sumbar) hingga kini tetap berharap agar iklim seni rupa Sumbar juga tumbuh dan berkembang dengan baik sebagaimana di daerah-daerah seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali, sehingga medan berkesenian yang selama ini terkonsentrasi dan bergaung di daerah-daerah tersebut juga menyebar ke daerah lain (Sumbar). Artinya diharapkan keberadaan SiGhi Art Gallery tidak hanya berkutat dan dilirik masyarakat Sumbar, tetapi juga bagi dan untuk dunia seni rupa Nasional, seperti yang pernah diungkap oleh Hendra Sardi (manager operasional gallery): Target kita mendirikan gallery ini bukan hanya untuk Bukittinggi atau Sumbar, tetapi hendaknya juga sebagai salah satu gallery seni rupa di kancah Nasional, sehingga seniman, kritikus dan kolektor Nasional juga akan melirik kita. Karena itu kita akan berusaha membangun jaringan dengan dunia seni rupa di luar daerah. Terutama dengan Bandung dan Yogya.
Namun lepas dari berbagai harapan dan modal dasar yang ada, keberhasilan mewujudkan visi misi Gallery ini, jelas amat bergantung pada usaha dan kerja kerasnya nanti dalam perjalanan. Dan yang tidak kalah penting dalam hal ini adalah termasuk masalah managemen. Seorang penari kontemporer yang sukses pentas keliling Eropa, Linda Hoemar, pernah mengutarakan bahwa managemen seni termasuk salah satu titik lemah yang tidak bisa diabaikan di Indonesia. Memang banyak lembaga seni bermunculan dari waktu ke waktu, tetapi begitu waktu berjalan sebagian besar mereka juga rontok satu persatu. Ini diakibatkan karena lemahnya managemen. Artinya meskipun sebagai lembaga seni masalah managemen ini tetap harus menjadi perhatian yang serius. Jika tidak bukan tidak mungkin gaung Sighi Art Gllery hanya terdengar saat pembukaan tetapi meredup dan lenyap dalam perjalanan.
Mungkinkah Sighi Art Gallery dapat berkiprah sebagai salah satu infra struktur seni rupa yang representatif di Sumatera Barat yang sekaligus layak dilirik oleh publik seni rupa di tingkat Nasional? Tentu saja terlalu dini dan tidak mudah untuk meramalkan apalagi memberikan jawaban yang pasti saat ini. Tetapi yang jelas kehadirannya tentu patut disambut positif oleh banyak pihak terutama bagi seniman-rupa, kritikus, kurator, kolektor dan para pencinta seni. Karena bagaimana pun, iklim seni rupa tidak akan mungkin tumbuh apalagi berkembang tanpa kemunculan berbagai piranti pendukungnya, termasuk dukungan dari pihak-pihak yang terkait.
Erianto Anas
0 comments:
Post a Comment